Tidak ada yang tahu benar, kapan dunia beserta
isinya mulai berada. Akan tetapi mensiasati laju perkembangan sistem biologis anatomis
beserta kebutuhannya, selain merupakan sebuah pekerjaan rumah yang tiada akhir,
bagi sebagian mereka yang cenderung berpikir efektif dan simple, langkah tersebut justru bukan hanya sekadar mengharapkan
kenyamanan dini, namun serta merta mereka seringkali berasumsi bahwa hal-hal dan
strategi tersebut akan lebih melebarluaskan rasa nyaman dikemudian hari. Kebanyakan
orang seringkali mendefinisikan kemudian, bahwa kesuksesan bukan hanya sekedar berbentuk
material fisik semata, namun seperti halnya sisi mata uang, sistem spiritual adalah bentuk wajah permanen lainnya
yang kadang tak terlihat dan bersifat kasat mata namun diam-diam ia dinilai sebagai
energi yang menyerupai jantung, memompa darah ke seluruh sel-sel syaraf tubuh,
dan menggerak hidupkan seluruh bangunan biologis anatomis
siapapun. Aspek spiritual, sebagian
para cendekiawan dulu seringkali menyebutnya ia berada dalam ruh, kalbu atau
hati. Anak-anak, orang tua, mungkin teringat sebuah ilmu pengetahuan
lama, bahwa di dalam tubuh manusia ada segumpal daging, apabila ia baik, maka
baiklah seluruh tubuhnya. Dan segumpal daging itu adalah hati atau ruh.
Menjaga
hati memang tidak mudah. Ia tidak seperti menangkap seekor belut, menangkap ayam, menangkap nyamuk, menangkap ikan, atau
menangkap seekor burung sekalipun. Selain karena hati berpotensi inkonsisten tidak tetap dan selalu
berubah-ubah serta berinteraksi luas dengan dunia eksternal (luar), kekonsistenan dan ketetapan hati terbentuk
bukan hanya karena ikhtiar egosentrisme semata, namun kekuatan dan
kekonsistenan hati terbentuk karena faktor-faktor lainnya yang turut menguatkan.
Ia bisa datang dari kekuatan diri sendiri atau faktor genetitas bawaan sejak
lahir, ia bisa datang dari kekuatan daya motivasi dari anggota keluarga seorang
ayah, ibu atau saudaranya, lingkungan setempat pun seringkali menjadi referensi
sumber penguat yang turut
membentuk kepribadian dan kekuatan individu itu sendiri. Tidak jauh berbeda
dalam memilih menu makanan atau sumber referensi ilmu pengetahuan yang tersebar
luas di alam semesta ini, terbentuknya kekuatan hati pun bukan hanya karena
ikhtiar insting alam bawah sadar dan keserbatidaksengajaan semata, namun ia terbentuk
karena kecerdasannya dalam mendayagunakan waktu yang tersedia, redefinisi
dan konfigurasi aktivitas, managerial potensi kelebihan dan kekurangan sistem biologis pribadinya, dan seberapa banyak
kekayaan materi-imaterial yang tersedia untuk membentuk bangunan karakteristek
yang diinginkan. Sederhananya, sebuah visi menyadarkan akan ‘menjadi bentuk apa’ yang
diinginkan, sebuah misi menyadarkan tentang bagaimana mewujudkan bentuk tersebut
yang diinginkan.
Kecerdasan
dan kekuatan kemudian menjadi sesuatu yang mahal. Karena ia tidak datang
sendirinya, bersifat instan berjangka pendek, atau
kun fayakun, jadilah maka jadi. Akan
tetapi ia terbentuk karena ilmu pengetahuan
yang cukup, perjuangan keras, perkenan sistem internal eksternal yang mengiringi dan
menguatkannya, dan selebihnya memang mau
tak mau, siapapun diberikan kesadaran dan kelapangan luas
untuk meyakini jelas
bahwa setiap individu itu
memiliki garis kehidupan dan
peranannya masing-masing yang telah ditetapkan sejak dulu
oleh Yang Maha Kuasa. [AF]