Pemilu
sejak dulu selalu menyedot perhatian, partisipasi, dan pragmatism semu. Pesta
demokrasi yang dilangsungkan lima tahunan ini, selain intensif membentuk system pembagian kue pembangunan secara
adil dan merata, pemilu lebih bergengsi dan bermartabat lagi secara
konstitusional menghendaki setiap warga negara dan pemerintah untuk berusaha semaksimal
keras membentuk konfigurasi kepemimpinan dan mesin politik yang lebih efisien, canggih,
dan kuat dalam mewujudkan dan mengendalikan arah pembangunan negara serta
kekuatan negara itu sendiri. Harapan hasil pemilu, hampir selalu membayangi anak-anak
muda untuk menampilkan seluruh potensi dan energi positif mudanya untuk
berkreasi, seperti inspirasi presiden Indonesia pertama Soekarno dulu kumandangkan,
“untuk membangun bangsa yang besar di mata dunia, saya hanya membutuhkan lima
orang pemuda heroik”. Pemilu pun diam-diam membayangi keinginan seorang balita
untuk lekas besar berdiri menyambut dinamika siklus kehidupan, membayangi beban
dan biaya sehari-hari para orang tua: biaya sekolah, listrik, air, kesehatan, perbaikan
rumah, atau kebutuhan pelengkap lainnya, semua itu dapat terjangkau dan tidak
menjadi bagian dari sebuah permasalahan berkepanjangan yang memperlambat dan
mencederai laju pembangunan itu sendiri. Pemilu atau pemilihan umum, sejatinya,
dalam dasar kenegaraan Pancasila pada akhirnya berusaha bersama-sama menciptakan
keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.
Momen lebaran pada dasarnya adalah
energi puncak kesadaran diri, kekuatan diri, dan kekuatan kesadaran dimensi sosial.
Ritualisme tahunan yang menghendaki setiap individu khususnya seorang muslim
untuk mengucapkan niat sesuai syariat dan kaidah, yakni mengendalikan organ
tubuh untuk beristirahat kerja tidak makan minum dan berhubungan intim bagi
yang sudah berkeluarga sejak shubuh hingga tiba saatnya maghrib selama sebulan
lamanya, lalu diselangi shalat sunat tarawih, hingga pemenuhan zakat sebagai
penyempurna ibadah puasa, serta diakhiri shalat idul fitri dan gema takbir
berkumandang sebagai symbol kemenangan bagi mereka yang telah memenuhi
ketentuan berpuasa, kemudian halal bihalal bersalaman berma’af-ma’afan, sudah
selayaknya menjadi sebuah bekal untuk introspeksi menyeluruh dalam menyambut rentetan
kehidupan di masa-masa yang akan datang. Lebaran menyisakan kesadaran semesta.
Dan lebaran tentu selalu menyimpan catatan tersendiri untuk menjalani tatanan kehidupan
ke arah yang lebih baik.
Pesta demokrasi adalah pesta rakyat,
sebuah ikhtiar dan langkah konstitusional dalam menyambut pesan-pesan
ke-Tuhanan, ke-Nabian, dan pesan-pesan Kemanusiaan secara komprehensif menyeluruh.
Memperhatikan keberadaan maju mundurnya negara, dalam pandangan seorang muslim
merupakan bentuk dan bagian dari sebuah keimanan. Bahkan ada sebuah hadits menegaskan,
barangsiapa yang sehari saja tidak memperhatikan urusan kehidupan sosial atau
saudara-saudaranya, baginda rosul mengingatkan bahwa dia bukanlah umatku. Umat
yang sesungguhnya adalah bangunan kehidupan sosial yang selalu menghargai
jasa-jasa pahlawannya dan para ulama-ulama terdahulu. Dulu ada peribahasa,
bangsa yang besar dan kuat adalah bangsa yang menghargai para pahlawannya, yakni
para pejuang bangsa dan para pejuang negara. [AF]