Tradisi apresiasi sastra, atau menyadari
aktivitas kebahasaan, tak hanya sekadar menempatkan dan memilah-milah secara
bijaksana gambaran terdahulu, kini, dan gambaran yang akan datang pada lalu
lintas siklus kehidupan natural alamiah yang heterogen kaya akan bahasa,
dinamis mengikuti dan beradaptasi dengan tanda-tanda zaman, fleksibel tidak
takut untuk bersama-sama memperbaharui sesuatu yang tampak kurang, namun
tradisi apresiasi sastra jauh melampaui dugaan Descartes misalkan, bahwa aku berfikir maka aku ada. Atau dalam
pengembaraan seorang sastrawan senior Rendra misalkan, perjuangan adalah sebuah pelaksanaan
kata-kata. Apresiasi sastra bahkan seperti kebiasaan hujan bebas turun dengan
sendirinya atau seperti kelincahan angin semilir tanpa bentuk, mengisi penuh ke
setiap ruang-ruang dan waktu. Bahkan lagi apresiasi sastra tidak sekedar menjalani
dan menyadari rentang psikologi kejiwaan humanism
untuk bekerjalah selagi nyaman, bertindaklah secara tenang hati-hati sesuai
keadaan, namun tersenyumlah sebelum seluruh pekerjaan usai atau sudah pas.
Berapresiasi sastra ibarat minum air laut, semakin diminum semakin dahaga.
Namun
berapresiasi sastra tidak hanya seperti deretan kartu berdiri berjajar yang
disusun sedemikian rupa, dan bila ujung tepi itu disandarkan pada kartu disampingnya, maka
kartu-kartu itu ikut bergerak ke sisi, depan, atau belakang hingga akhirnya membentuk
bangunan dan suasana baru yang lebih memikat. Aktivitas penuh kedisiplinan ini
tidak hanya sekadar menawarkan ‘dunia baru’ yang lebih terbuka, menerangi, dan
menjelaskan sesuatu yang tampak rumit menjadi terlihat gamblang dan mudah
dilakoni, pun aktivitas kebahasaan ini mencoba menghubungkan dan membentuk
sebuah komunitas alternatif yang berusaha bersikap terbuka untuk berbagi
tentang bagaimana hidup bersama dalam bingkai dunia sebagai sebuah
kesemestaan yang amat luas, namun tampak intensif mencoba,
menghargai, dan berusaha menguatkan dan menggali potensi
tersembunyi yang ditemukan di setiap karakteristik kemanusiaan. Apresiasi
sastra adalah sebuah aktivitas tak berkesudahan seperti halnya fenomena
dialektika tentang wujud
dan keberadaan dunia itu sendiri.
Richie
Rich atau the underwater world, misalkan,
sebagai
sebuah produk sastra yang berwujud kemudian menjadi sebuah cinema populer hingga
merambah pustaka bergambar kartun yang mampu diproduksi hingga menyaingi produk
Disney atau Hello Kitty sekalipun, bahkan selalu mengimbangi kepopuleran dunia sport, travelling, atau dunia metafisika sekalipun. Mereka terlahir bukan
hanya terlahir begitu saja, namun mereka terlahir karena kesungguhan luar biasa
untuk tidak hanya menunggu kenyataan, namun berusaha untuk menjemput kenyataan
yang seringkali mereka tidak hanya ditemukan dalam dunia entah berantah, namun
dalam dunia sepakbola pun hal tersebut sudah tidak asing lagi ditemukan. [AF]