Saya sebenarnya sedang tidak belajar berkompromisme di sebuah ruang online terluas dan terhormat ini hanya
untuk sebuah simbolisasi kemajuan atau peningkatan saja. Akan tetapi, dalam era yang serba ‘telanjang’
ini, ada benarnya juga, menurut Dika, aktor dalam negeri yang baru-baru ini
memerankan seorang yang selalu gagal dalam menjalin hubungan romantik antara dunia
maskulinisme dan feminism, seorang aktor yang juga memerankan sebuah iklan mie
ini, katanya, dalam berkompromis, dalam menjalin hubungan komunikasi, ada
baiknya kita belajar pada seorang anak kecil yang berlaku apa adanya. Tanpa
banyak alasan apapun, dalam bertindak sebaiknya kita juga sedikit banyak
belajar dari mereka. Anak kecil adalah cermin kejujuran dan cermin perilaku apa
adanya. Saya atau siapapun sebenarnya pernah mengalami masa-masa ini. Masa SMA,
saya kira masa remaja yang sukar untuk dilupakan. Orang-orang bilang, masa SMA
adalah masa terindah yang kental dengan dunia romantika, nakalisme, dan
kreativisme yang memuncak. Akan tetapi sayangnya masa SMA hanya berjenjang
sekitar 3 (tiga) tahun saja. Entah alasan apa, di sebuah bangku pojok belakang,
saya dan teman sebangku yang kini menjadi seorang wartawan Jawa Barat ternama,
pernah bilang, saya kira saya lebih suka dipanggil Afit. Nama ini kiranya hanya
cukup terdengar tanpa tertulis sekalipun. AU, demikian saya panggil teman
sebangku itu, adalah orang yang saya kira menganut aliran realistik dalam dunia
seni. Jadi silahkan saja lihat foto-foto terakhir dalam buku kenangan SMA, dia
tidak memperlihatkan fotonya yang berukuran 3x4 itu. ACL, saya kira orang yang
cukup cerdik mengungkap keberadaan aslinya. Foto di sebuah pantai pangandaran
di sebuah acara liburan bebas SMA, AU, dan teman-teman lainnya yang seluruhnya
berjumlah 9 (Sembilan) orang ini kelihatannya tampak gembira menikmati suasana
pantai saat itu.
Pada akhirnya nama panggilan saya lambat laun terdengar oleh teman-teman
lainnya. Saya kira Afit sebuah singkatan dari Asep fitriana, menyebar pada
nama-nama lainnya, hingga entah darimana asalnya, nama panggilan itu terakhir
mampir di sebuah himpunan pemuda-pemudi di sebuah komplek perumahan hingga di
sebuah perkumpulan seni musik. Teman-teman seorganisasi cukup akrab memanggil Afit
sebagai nama panggilan yang cukup familiar. Dunia feminism dan maskulinisme
saya kira pernah menyebutkan nama panggilan ini. Dan saya rasa, itu hak mereka.
Boleh-boleh saja. Di rumah, sebenarnya saya sering dipanggil asep saja. Jadi
kalau ada yang menelepon memanggil nama Afit, keluarga mendengarnya sebagai
panggilan yang cukup asing dan mesti bertanya kembali pada orang yang menelepon
tersebut. Asep, katanya karena saya anak yang cukup tampan di keluarga. Jadi
memang setiap orang memiliki GR (Gede Rasa) tersendiri sebagai sebuah kewajaran
yang biasa. Dan ingat, nama asep, selain memiliki paguyuban tersendiri dalam
sebuah jejaring sosial, sebagai paguyuban bernama asep ‘sejenis’, nama asep,
kalau mau menghitung memang cukup banyak jumlahnya. Dan saya kira asep, atau
asif yang kemudian dalam bahasa Arab kamus bermakna ‘sayang’, adalah nama asli pribumi sunda yang cukup
dikenal orang banyak.
Seperti biasa kalau lelah saya berbaring di tempat tidur atau memainkan dan
berimprovisasi gitar hapalan lagu-lagu lama atau berusaha menggambarkan suasana
terdekat. Dulu, biasanya saya main keyboard. Karena urusan financial, keyboard
itu saya jual, yang masih bertahan ternyata sebuah gitar. Sambil berusaha
membaca diri dan membaca lingkungan sekitar, biasanya mampir suara hati atau
orang banyak bilang ‘ilham’ yang sedikit banyak saya ambil sebagai referensi
dalam menuangkan ide-ide yang saya kemas dalam bentuk tulisan. Saya kira
tulisan yang kini hampir berjumlah 127 tulisan itu, ratusan lainnya hilang
karena error, adalah produk renungan
terdalam, yang saya ambil dari suasana terakhir-terakhir ini. Sejak SMP, saya
merasa bersyukur memiliki kelebihan dalam berbahasa Indonesia. Nilai-nilai
Bahasa Indonesia saya, khususnya dalam mengarang, selalu diatas rata-rata dan
cukup membanggakan. ***