Statistik Blog

Selasa, 28 Oktober 2014

Updating Sebuah Nama



Saya sebenarnya sedang tidak belajar berkompromisme di sebuah ruang online terluas dan terhormat ini hanya untuk sebuah simbolisasi kemajuan atau peningkatan saja.  Akan tetapi, dalam era yang serba ‘telanjang’ ini, ada benarnya juga, menurut Dika, aktor dalam negeri yang baru-baru ini memerankan seorang yang selalu gagal dalam menjalin hubungan romantik antara dunia maskulinisme dan feminism, seorang aktor yang juga memerankan sebuah iklan mie ini, katanya, dalam berkompromis, dalam menjalin hubungan komunikasi, ada baiknya kita belajar pada seorang anak kecil yang berlaku apa adanya. Tanpa banyak alasan apapun, dalam bertindak sebaiknya kita juga sedikit banyak belajar dari mereka. Anak kecil adalah cermin kejujuran dan cermin perilaku apa adanya. Saya atau siapapun sebenarnya pernah mengalami masa-masa ini. Masa SMA, saya kira masa remaja yang sukar untuk dilupakan. Orang-orang bilang, masa SMA adalah masa terindah yang kental dengan dunia romantika, nakalisme, dan kreativisme yang memuncak. Akan tetapi sayangnya masa SMA hanya berjenjang sekitar 3 (tiga) tahun saja. Entah alasan apa, di sebuah bangku pojok belakang, saya dan teman sebangku yang kini menjadi seorang wartawan Jawa Barat ternama, pernah bilang, saya kira saya lebih suka dipanggil Afit. Nama ini kiranya hanya cukup terdengar tanpa tertulis sekalipun. AU, demikian saya panggil teman sebangku itu, adalah orang yang saya kira menganut aliran realistik dalam dunia seni. Jadi silahkan saja lihat foto-foto terakhir dalam buku kenangan SMA, dia tidak memperlihatkan fotonya yang berukuran 3x4 itu. ACL, saya kira orang yang cukup cerdik mengungkap keberadaan aslinya. Foto di sebuah pantai pangandaran di sebuah acara liburan bebas SMA, AU, dan teman-teman lainnya yang seluruhnya berjumlah 9 (Sembilan) orang ini kelihatannya tampak gembira menikmati suasana pantai saat itu.
Pada akhirnya nama panggilan saya lambat laun terdengar oleh teman-teman lainnya. Saya kira Afit sebuah singkatan dari Asep fitriana, menyebar pada nama-nama lainnya, hingga entah darimana asalnya, nama panggilan itu terakhir mampir di sebuah himpunan pemuda-pemudi di sebuah komplek perumahan hingga di sebuah perkumpulan seni musik. Teman-teman seorganisasi cukup akrab memanggil Afit sebagai nama panggilan yang cukup familiar. Dunia feminism dan maskulinisme saya kira pernah menyebutkan nama panggilan ini. Dan saya rasa, itu hak mereka. Boleh-boleh saja. Di rumah, sebenarnya saya sering dipanggil asep saja. Jadi kalau ada yang menelepon memanggil nama Afit, keluarga mendengarnya sebagai panggilan yang cukup asing dan mesti bertanya kembali pada orang yang menelepon tersebut. Asep, katanya karena saya anak yang cukup tampan di keluarga. Jadi memang setiap orang memiliki GR (Gede Rasa) tersendiri sebagai sebuah kewajaran yang biasa. Dan ingat, nama asep, selain memiliki paguyuban tersendiri dalam sebuah jejaring sosial, sebagai paguyuban bernama asep ‘sejenis’, nama asep, kalau mau menghitung memang cukup banyak jumlahnya. Dan saya kira asep, atau asif yang kemudian dalam bahasa Arab kamus bermakna ‘sayang’,  adalah nama asli pribumi sunda yang cukup dikenal orang banyak.

Seperti biasa kalau lelah saya berbaring di tempat tidur atau memainkan dan berimprovisasi gitar hapalan lagu-lagu lama atau berusaha menggambarkan suasana terdekat. Dulu, biasanya saya main keyboard. Karena urusan financial, keyboard itu saya jual, yang masih bertahan ternyata sebuah gitar. Sambil berusaha membaca diri dan membaca lingkungan sekitar, biasanya mampir suara hati atau orang banyak bilang ‘ilham’ yang sedikit banyak saya ambil sebagai referensi dalam menuangkan ide-ide yang saya kemas dalam bentuk tulisan. Saya kira tulisan yang kini hampir berjumlah 127 tulisan itu, ratusan lainnya hilang karena error, adalah produk renungan terdalam, yang saya ambil dari suasana terakhir-terakhir ini. Sejak SMP, saya merasa bersyukur memiliki kelebihan dalam berbahasa Indonesia. Nilai-nilai Bahasa Indonesia saya, khususnya dalam mengarang, selalu diatas rata-rata dan cukup membanggakan. ***